This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Total Tayangan Halaman

Rabu, 13 Februari 2019

Problematika Pendidikan Moral dan Budi Pekerti


PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MORAL DAN BUDI PEKERTI
Oleh : Firda Rizkita Nanda
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Aspek yang berkaitan dengan budi pekerti kurang disentuh di sekolah bahkan kecenderungan tidak ada sama sekali. Gaya hidup modern yang tidak didasari budi pekerti akan cepat ditiru. Arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang juga merupakan tantangan tersendiri di mana informasi positif maupun negatif dapat langsung diakses. Ada beberapa alternatif kebijakan yang ditawarkan penulis agar dapat digunakan menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun, alternatif tersebut pasti memiliki potensi dan limitasi tersendiri dalam penerapannya.

Kata Kunci : Pendidikan, Moral, Budi Pekerti, Peserta didik  

Latar Belakang
Sistem pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang No. 2/89 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas merumuskan tujuannya pada Bab II, Pasal 4, yaitu mengembangkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Selain  itu, juga memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur. Namun pada kenyataannya, tujuan yang mulia tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah yang mendukung tujuan tersebut. Hal ini terbukti pada kurikulum sekolah yang telah menghapuskan mata pelajaran budi pekerti dari daftar mata pelajaran di sekolah. Oleh karena itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan budi pekerti menjadi kurang disentuh bahkan ada kecenderungan tidak sama sekali.
Hasilnya, budaya negatif mudah teresap tanpa ada filter yang cukup kuat. Gaya hidup modern yang tidak didasari akhlak/budi pekerti akan cepat ditiru. Perilaku negatif seperti tawuran akan menjadi budaya baru yang dianggap dapat mengangkat jati diri mereka. Premanisme ada dimana-mana, emosi meluap-luap, cepat marah dan tersinggung, ingin menang sendiri menjadi bagian hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat kita sendiri. Hal lain yang menunjukkan lunturnya budi pekerti / akhlak untuk saat ini adalah banyaknya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur. Dalam hal ini, bisa saja terjadi perilaku dan korban pelecehan tersebut adalah anak-anak. Tindak kejahatan mencuri bahkan menodong semua pelakunya adalah pelajar sekolah.

Rumusan Masalah Kebijakan
Arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri di mana informasi baik positif maupun negatif dapat langsung diakses. Tanpa adanya bekal yang kuat dalam penanaman agama (yang tercakup nilai moral dan budi pekerti) hal itu akan berdampak negatif jika tidak disaring dengan benar. Pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya di tengah-tengah masyarakat juga merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan. Moral para pejabat yang memang sudah amat melekat seperti “koruptor”, curang/tidak jujur, tidak peduli pada kesusahan orang lain, dan lain-lain, ikut menjadi tantangan tersendiri karena bila mengeluarkan kebijakan, diragukan ketulusan dan keseriusannya mengimplementasikan secara benar. Kurikulum sekolah mengenai dimasukkannya materi moral dan budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran juga cukup sulit. Ini terjadi karena ternyata tidak semua guru dapat mengaplikasikan model integrated learning tersebut kedalam mata pelajaran lain yang sedang diajarkannya atau yang diampunya. Kondisi ekonomi Indonesia juga menjadi tantangan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, bagaimanapun, setiap ada kebijakan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit.
Jika penghapusan mata pelajaran budi pekerti tersebut karena dianggap telah cukup tercakup dalam mata pelajaran agama, tentu hal itu tidak demikian adanya. Walaupun budi pekerti merupakan bagian dari mata pelajaran agama yang salah satu bahasannya adalah akhlak/budi pekerti, pembahasan mengenai hal tersebut pasti memperoleh porsi yang sangat kecil karena aspek yang dibahas dalam pelajaran agama sangat banyak dan alokasi waktunya sangat minim yaitu dua jam dalam seminggu. Demikian pula sentuhan agama yang salah satu cabang kecilnya adalah akhlak/budi pekerti menjadi amat tipis dan tandus. Padahal zaman terus berjalan, budaya serta teknologi sangat berkembang pesat dan arus informasi dari manca negara bagai tidak terbatas. Maka sangat perlu dilakukan langkah-langkah guna menyelesaikan permaslahan tersebut.
Rumusan Alternatif Kebijakan
Melihat dampak dari kurangnya pendidikan budi pekerti bagi siswa , maka penulis menawarkan beberapa alternatif kebijakan. Bentuk dari alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh penulis yakni:
Alternatif pertama, yaitu Pemerintah dapat membuat kebijakan untuk sekolah melakukan Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti. Pendekatan yang dimaksud antara lain : (a) Pendekatan penanaman moral (Inculcation Approach) yaitu mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan : mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Cara yang dapat digunakan pada pendekatan ini antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, dan bermain peran. (b) Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development Approach) yaitu menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pemikiran moral melalui diskusi masalah moral sehingga peerta didik dapat membuat keputusan tentang pendapat moral. Cara yang dapat digunakan pada pendekatan ini adalah melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual maupun yang abstrak (hipotetikal). (c) Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach) yaitu menekankan agar peserta didik dapat menggunakan kemampuan berpikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu, peserta didik dalam menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dapat menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, antara lain diskusi terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis terhadap kasus, debat dan penelitian. (d) Pendekatan Klarifikasi Nilai (Values Clarification Approach) yaitu menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, pendekatan ini juga membantu peseta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta dalam menggunakan kemampuan berfikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang dapat dimanfaatkan dalam pendekatan ini, antara lain bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan diluar kelas, dandiskusi kelompok. Dan (e) Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach) yaitu mengembangkan kemampuan peserta didik seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Selain itu, pendekatan ini di maksudkan untuk mengembangkan kemampun peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, selain cara-cara pendekatan analisis dan klasifikassi nilai, adalah metode proyek/ kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup bermasyarakat dan berorganisasi.
Alternatif kedua, yaitu Pemerintah dapat membuat kebijakan untuk sekolah dalam pengorganisasian pendidikan budi pekerti dalam kurikulum dunia persekolahan. Misalnya dengan mengintegrasikan budi pekerti kedalam mata pelajaran lainnya. Pada dasarnya semua mata pelajaran mengandung unsur yang berkaitan dengan budi pekerti. Kejelian para guru mata pelajaran sangat diharapkan dalam mengintegrasikan budi pekerti ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya. Oleh karena itu, perlu diadakan pelatihan dan sosialisasi serta penataran agar guru benar-benar memahami cara mengintegrasikannya.
Alternatif ketiga, yaitu Pemerintah dapat membuat kebijakan tentang Keterlibatan seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru, kepala sekolah, administrator pendidikan, pengembang kurikulum, penulis buku teks dan lembaga pendidikan tenaga keguruan sesuai dengan kedudukan, peran dan tanggung jawabnya dalam peningkatan budi pekerti peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan wawasan dan kemampuan profesional pendidikan budi pekerti bagi para guru, kepala sekolah, pengembang kurikulum, penulis buku teks serta para administrator  pendidikan secara keseluruhan agar dapat menjalankan tugas dengan tujuan peningkatan budi pekerti peserta didik di sekolahnya dengan baik
Alternatif ke empat, yaitu Sekolah dapat membuat kebijakan untuk meningkatkan kerja sama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat. Karena guna mendukung terwujudnya pelaksanaan budi pekerti di sekolah diperlukan adanya sinergitas dan kerja sama yang erat antara orang tua, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Peran orang tua dalam menyukseskan pendidikan budi pekerti sangat besar. Karena pada dasarnya sikap, perilaku dan budi pekerti anak itu dimulai dari keluarga (orang tua). Para orang tua harusnya berlomba-lomba menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti luhur melalui pendidikan agama sejak usia dini. Penanaman pendidikan agama sejak usia dini akan secara otomatis tertanam nilai-nilai moral dan budi pekerti luhur yang akan berdampak sangat positif bagi perkembangan jiwa anak hingga dewasa. Ini terjadi karena moral dan budi pekerti merupakan bagian dari pendidikan agama yang disebut pendidikan akhlak. Budi pekerti akn kuat jika banyak dipraktikkan, dipatuhi, dan diyakini sebagai suatu yang baik dan direstui. Sedangkan peran masyarakat dalam pendidikan budi pekerti juga tidak kalah penting. Dalam banyak kasus, banyak pula para siswa yang berbudi pekerti kurag baik mengganggu ketenangan hidup bermasyarakat dengan melakukan tindakan tidak terpuji, misalnya suka mencuri, tawuran, minum-minuman keras, narkoba serta sering membuat onar di lingkungan masyarakat. Kepada anggota masyarakat yang melihat siswa melakukan perbuatan negatif tersebut, diharapkan agar segera melapor ke pihak sekolah atau pihak yang berwajib untuk pembinaan selanjutnya. Kapedulian masyarakat terhadap pelaksanaan penanaman budi pekerti atau peranannya sebagai Social Control sangat diharapkan.

Analisis Potensi dan Limitasi Alternatif
Dengan beberapa alternatif kebijakan yang telah ditawarkan oleh penulis sebagaimana yang dijelaskan diatas, tentunya ada potensi serta limitasi dalam alternatif kebijakan tersebut. Pada alternatif pertama, yaitu Pemerintah dapat membuat kebijakan untuk sekolah melakukan Pendekatan-pendekatan Pendidikan Budi Pekerti. Potensi yang dimiliki alternatif tersebut adalah dengan memilih pendekatan yang terbaik (eklektif) dan saling mengaitkannya satu sama lain akan menimbulkan hasil yang optimal (sinergis) dalam peningkatan budi pekerti peserta didik. Selain itu, para pendidik juga akan lebih mengetahui karakter-karakter setiap peserta didik dengan maksud mempermudah dalam peningkatan pendidikan budi pekertinya. Sedangkan limitasinya yaitu, Kesulitan yang dihadapi guru atau pendidik dalam memilih pendekatan mana yang cocok untuk digunakan atau yang sesuai dengan karakter peserta didiknya yang bermacam-macam. Jika guru tersebut salah dalam memilih pendekatan maka pembelajaran juga tidak akan bisa berjalan kondusif dan peningkatan budi pekertinya juga tidak akan dapat terlaksana.
Pada alternatif kedua yaitu Pemerintah dapat membuat kebijakan untuk sekolah dalam pengorganisasian pendidikan budi pekerti dalam kurikulum dunia persekolahan. Potensinya yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti di setiap mata pelajaran dapat lebih membantu peningkatan pendidikan budi pekerti peserta didik. Karena secara tidak langsung jika diintegrasikan di setiap mata pelajaran maka sedikit demi sedikit pula pendidikan budi pekerti akan di kuatkan oleh para gurunya. Sedangkan limitasinya yaitu, Seringnya guru yang tidak menekankan pendidikan budi pekerti pada saat mengajar mata pelajaran, atau hanya terlalu fokus pada mata pelajaran yang diajarnya. Guru sering kali tidak menyinggung peningkatan pendidikan budi pekerti peserta didik.
Alternatif ketiga yaitu Pemerintah dapat membuat kebijakan tentang Keterlibatan seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru, kepala sekolah, administrator pendidikan, pengembang kurikulum, penulis buku teks dan lembaga pendidikan tenaga keguruan sesuai dengan kedudukan, peran dan tanggung jawabnya dalam peningkatan budi pekerti peserta didik. Potensinya yaitu, dengan melibatkan seluruh komponen pendidikan tersebut dapat sangat membantu dalam peningkatan pendidikan budi pekerti bagi peserta didik. Karena jika seluruh komponen sekolah dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam peningkatan budi pekerti peserta didik maka mereka juga akan  memegang peranan penting dalam peningkatan budi pekerti setiap peserta didik itu sendiri. Sedangkan limitasinya yaitu, masih adanya komponen sekolah yang tidak memikirkan atau cuek terhadap pendidikan budi pekerti peserta didiknya. Misalnya kepala sekolah yang hanya fokus ke peningkatan kinerja gurunya tetapi tidak memperhatikan bagaimana budi pekerti yang seharusnya dimiliki oleh peserta didik di sekolahnya.
Alternatif keempat, yaitu Sekolah dapat membuat kebijakan untuk meningkatkan kerja sama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat. Potensinya yaitu dengan adanya kerja sama antar sekolah dengan orang tua peserta didik, maka sekolah akan lebih mengetahui bagaimana perkembangan budi pekerti dari siswa itu sendiri dengan langsung mendapat informasi dari orang tua bagaimana cara berperilaku anaknya ketika dirumah. Selain itu jika bekerja sama dengan masyarakat juga akan mengetahui bagaimana cara bergaul peserta didiknya di lingkungan masyarakat. Bisa juga sekolah memiliki mata-mata atau pengawas untuk mengawasi tingkah laku peserta didiknya. Limitasinya yaitu Akibat tuntutan kebutuhan hidup keluarga yang sangat mendesak, jangankan memberi pendidikan bagi anaknya, masalah kesehatan dan keselamatan kerja bagi anak pun menjadi hal yang diabaikan oleh orang tua. Umumnya orang tua yang sanggup membiayai pendidikan anaknya adalah orang tua yang bekerja. Orang tua yang bekerja dengan waktu yang cukup panjang sehingga meninggalkan anaknya di rumah di bawah asuhan para pembantu rumah tangga yang juga sering kali sangat rendah pendiidikannya. Saat pulang dari bekerja, para orang tua sudah sangat lelah. Anak-anaknya pun sudah tertidur ditemani pembantu rumah tangga. Akibatnya, orang tua / keluarga semacam ini pun tidak pernah menanamkan nilai-nilai positif, khususnya nilai budi pekerti yang luhur. Sedangkan Penanaman nilai-nilai budi pekerti di masyarakat pun menjadi sangat kurang sebagai akibat dari himpitan ekonomi. Semua sibuk memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup. Kontrol sesama masyarakat menjadi kurang, bahkan tidak ada. Semua serba individualistis. Kondisi seperti ini justru sangat berpengaruh pada penanaman nilai-nilai budi pekerti. Keluarga yang anaknya terbebas/ tak terpengaruh sisi negatif lunturnya nilai budi pekerti seperti narkoba, tawuran, seks bebas dan lain-lain tidak peduli pada tetangga/keluarga lain yang secara kebetulan mengalaminya, yang terpenting keluarga sendiri terlebih dahulu.

Rumusan Rekomendasi Kebijakan
Problematika pendidikan moral dan budi pekerti peserta didik memang sering dijumpai pada saat ini. Entah itu perilaku negatif seperti mencuri, seks bebas, tawuran, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang peserta didik yang seharusnya masih memerlukan bimbingan baik dari keluarga maupun sekolahnya. Dengan alternatif kebijakan yang telah diuraikan oleh penulis. Penulis sadar terdapat limitasi dalam setiap alternatif  kebijakannya. Sehingga penulis merekomendasikan alternatif kebijakan, dimana pemerintah seharusnya menetapkan kebijakan bagi seluruh sekolah untuk melakukan berbagai pendekatan untuh peningkatan moral dan budi pekerti bagi peserta didiknya. Pendekatan tersebut seharusnya di implementasikan baik di pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Alasan mengapa alternatif kebijakan ini dipilih karena dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang disesuaikan dengan karakter siswanya, maka pedidik atau guru dapat lebih mempertajam nilai budi pekerti bagi peserta didiknya. Selain itu, guru juga dapat berkomunikasi secara langsung dan terbuka dengan siswanya. Guru bisa memilih pendekatan mana yang sesuai atau bisa mengkombinasikan pendekatan satu dengan pendekatan yang lain dalam pengimplementasiannya. Meskipun alternatif ini memiliki limitasi kesulitan yang dihadapi guru atau pendidik dalam memilih pendekatan mana yang cocok untuk digunakan atau yang sesuai dengan karakter peserta didiknya yang bermacam-macam. Namun dengan komunikasi yang terjalin secara terus menerus, secara tidak langsung akan membangun sensitivitas bagi guru untuk mengetahui karakter setiap peserta didiknya. Maka dari itu alternatif pendekatan moral dan budi pekerti ini akan lebih efektif dan efisien jika diimplementasikan dalam rangka peningkatan pendidikan moral dan budi pekerti untuk peserta didik.

DAFTAR RUJUKAN
Chan, M & Sam, T. 2005. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Imron, A. 1994. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Malang: UM Press.
Imron, A. 1996. Pengantar Pendidikan. Malang: UM Press.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekertariat Negara.
Zuriah. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: PT Bumi Aksara.











Kamis, 07 Februari 2019

Komitmen Kepala Sekolah terhadap implementasi Total Quality Management (TQM) di sekolah


KOMITMEN KEPALA SEKOLAH TERHADAP IMPLEMENTASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) DI SEKOLAH
Firda Rizkita Nanda

Firdarizkita8@gmail.com
Administrasi Pendidikan Universitas Negeri Malang,
Jl Semarang No. 5 Malang 65145

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komitmen kepala sekolah terkait penerapan total quality manajemen yang ada di sekolah. Dalam penelitian ini menggunakan metode kajian review. Hasil penelitiannya yakni dengan adanya komitmen untuk melakukan penerapan Total Quality Management (TQM) secara efektif oleh kepala sekolah diharapkan mampu meningkatkan kualitas secara berkelanjutan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, yaitu agar Output yang dimiliki oleh sekolah bisa unggul.

Kata Kunci: Total Quality Management, Komitmen Kepala Sekolah

Abstract: The purpose of this study was to determine the commitment of principals regarding the implementation of total quality management in schools. In this study used method is review. The results of his research, namely the commitment to implement Total Quality Management (TQM) effectively by the school principal, are expected to be able to improve quality in a sustainable manner that is oriented to customer satisfaction, namely that that the output possessed by the school can be superior.

Keyword: Total Quality Management, Principal Commitment

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan faktor penentu kemajuan, jika suatu bangsa menyelenggarakan pendidikan dengan baik, kualitas bangsa tersebut juga akan baik. Menurut Mulyasa (2005:31) peran dan tanggung jawab dari pendidikan yaitu membuat bangsa cerdas dan professional sesuai bidangnya. Menurut Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pendidikan ialah kegiatan yang dilakukan degan sadar dan telah direncanakan dalam upaya merealisasikan kondisi pembelajaran untuk pengembangan potensi peserta didik. Dalan orientasinya pada mutu, suatu sekolah diharapkan untuk melakukan pergerakan dengan membuat suatu inovasi baru, dan juga memposisikan diri sebagai lembaga yang berfokus pada tuntutan kebutuhan dari masyarakat yang selalu terjadi pengembangan. Sehingga sekolah diharapkan agar selalu berupaya meningkatkan standar proses dan menyempurnakan hasil pendidikan sehingga mampu menciptakanoutput” yang sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat.
Menurut Munir (2008:7) penentu kebijakan yang ada di sekolah atau biasa dipanggil dengan kepala sekolah harus mampu melaksanakan dan menyelesaikan peran atau tugasnya secara sepenuh hati dan maksimal dengan cara bisa menjadi pemimpin dari sekolahnya dengan baik dan mempunyai arahan yang jelas serta selalu mengedepankan aspek pencapaian tujuan semaksimal mungkin agar mampu membuat mutu dan kualitas pendidikan yang ada di sekolah bisa meningkat. Upaya tesebut pasti berpengaruh kepada kualitas output siswa kedepannya. Sehingga kepala sekolah seharusnya bisa berwawasan secara luas, mempunyai keahlian dalam hal manajerial, berkarisma sebagai seorang pemimpin serta memiliki pengetahuan yang luas terkait peran dan tugasnya sebagai seorang pemimpin di sekolah (kepala sekolah). Jika kepala sekolah tersebut ingin bisa membina, membimbing dan mengantarkan semua komponen yang terdapat di sekolahnya secara terarah yang berfokus kepada tujuan atau yang dimiliki, maka kemampuan tersebut harus dimiliki oleh kepala sekolah. Dengan adanya peran tersebut maka dalam implementasi TQM yang dilaksanakan kepala sekolah haruslah selalu mengupayakan pencapaian tujuan dari implementasi TQM itu sendiri, yakni mampu memperbaiki kualitas dan mencapai kepuasan pelanggannya. Dalam implementasi TQM yang ada di sekolah, ada model dalam mengelola sekolah yang membuat seseorang untuk lebih mandiri, mengutamakan kepuasan pelanggan, dan mampu menghadapi dan mengatasi tantangan yang ada dalam pendidikan. Hal tersebut sering disebut dengan School Based Quality Improvement Management (SBQIM) (Mulyasa, 2002).

METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian literatur review atau tinjauan pustaka. Yakni berupa mencari beberapa jurnal yang digunakan sebagai acuan untuk pengerjaannya. Langkah yang diambil oleh peneliti yaitu dengan mencari permasalahan yang sesuai, mencari sumber lain yang relevan, menganalisis kesamaan dan ketidaksamaan (membandingkan), menganalisis, meringkas, dan memberikan pandangan dari peneliti.
Dalam penelitian ini, studi terhadap bahan pustaka yang dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui komitmen kepala sekolah dalam mengimplementasikan TQM secara efektif di sekolah. Paparan mengenai komitmen kepala sekolah dan implementasi TQM secara efektif di sekolah dari penelitian terdahulu akan dirangkum hingga diperoleh informasi terkait komitmen atau peran kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas dan mencapai kepuasan pelanggan.

HASIL
Total Quality Manajemen (TQM) memang tidaklah mudah untuk dilaksanakan di sekolah. Kepala sekolah harus mampu memperhatikan karakteristik komitmen dalam dirinya  sehingga mampu meningkatkan kualitas sekolahnya secara bertahap. Komitmen yang ada pada diri kepala sekolah merupakan poin puncak dalam implementasi TQM di sekolah sehingga merupakan faktor utama yang memiliki peran untuk meningkatan kualitas dan memenuhi kepuasan pelanggan. Pada kenyataannya kepala sekolah di banyak sekolah memang sudah berkomitmen untuk mengimplementasikan Total Quality Manajemen (TQM) di sekolahnya. Hal itu bisa terlihat dari kemampuan kepala sekolah untuk melakukan pengendalian maupun perbaikan saat adanya ketidaksesuaian pelaksanaan kegiatan yang ada di sekolah dan juga mampu membagi peran dan tanggung jawab dari masing-masing komponen sekolah. Karena dengan adanya penerapan TQM di sekolah maka akan membantu memperjelas peranan dari komponen sekolah. Jika kepala sekolah di suatu sekolah tidak memiliki komitmen yang jelas, maka proses perubahan mutu yang ada juga tidak mungkin dapat berjalan dengan lancar nantinya. Hambatan yang sering ditemui oleh kepala sekolah dalam implementasi TQM di sekolahnya kebanyakan ada pada saat kegiatan pengukuran yaitu belum bisa mengukur dan mengetahui tingkat kualitas yang ada pada sekolahnya. Kepala sekolah perlu mempelajari cara mengumpulkan data dan menganalisis data. Saat kepala sekolah telah mampu mengumpulkan dan menganalisis data, maka ara mereka akan mampu melakukan pengukuran dan mampu mengetahui nilai tambah yang ada pada sekolahnya.
Adanya komitmen yang dimiliki oleh kepala sekolah merupakan indikator pencapaian dalam implementasi TQM di sekolah. Peningkatan kualitas dan kepuasan pelanggan merupakan indikator keberhasilannya. Peningkatan kualitas dapat dilihat dari perkembangan sekolah tersebut dan cara kepala sekolah mengatasi atau mengendalikan permasalahan yang ada di sekolah. Kepuasan pelanggan dapat dilihat dari hasil atau nilai akademik yang didapatkan oleh peserta didik. Mutu bukan berasal dari keinginan sekolah, tetapi harus sesuai dengan persyaratan yang diinginkan oleh pelanggan.
PEMBAHASAN
Kepala sekolah dan keefektifan memimpin
Leadership Development atau Pengembangan kepemimpinan mempunyai pengertian pengembangan kemampuan sesorang untuk bisa lebih efektif lagi dalam proses penerapan tugasnya dan dalam proses kepemimpinannya. Dalam definisi pengembangan kepemimpinan menurut Prabowo (2012) ada tiga hal yaitu: Setiap individu harus bisa memperluas kapasitas kepemimpinannya, menciptakan seseorang yang lebih efektif dalam penerapan peran dan proses kepimimpinannya, kepemimpinan difokuskan kepada pengembangan kapasitas pada setiap inividu. Kunci utamanya yaitu masing-masing individu mampu untuk tumbuh, dan belajar serta mengalami perubahan. Menurut Handoko (1995:297) sifat kepemimpinan meliputi: 1) kebutuhan yang ada terhadap prestasi dalam pekerjaan, meliputi mau mencari tugas dan berkeinginan untuk sukses di kedepannya. 2) kecerdasan yang meliputi mampu berfikir secara kreatif, dapat membuat kebijakan-kebijakan. 3) ketegasan atau kemampuan dalam menciptakan suatu keputusan dan cara untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan cepat dan tepat. 4) percayaan diri atau memandang diri sendiri bisa menghadapi masalah yang ada. 5) kemampuan yang ada saat berkedudukan sebagai seorang pengawas (supervisory ability) atau sebagai pelaksana fungsi yang ada di dasar manajemen. 6) berinisiatif agar memiliki sikap tidak bergantung kepada orang lain. Tujuan dari sekolah yang merupakan pendidikan formal yaitu menciptakan seseorang yang memiliki kepribadian terkait pengembangan intelektual pada diri siswa. Dalam kepemimpinnya, kepala sekolah harus mampu paham, melakukan pemecahan dan memperbaiki kekurangan yang ada di lingkungan sekolah.
Kepala sekolah harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap suatu mutu. Mutu yakni suatu budaya perubahan yang membuat organisasi bisa mengganti cara kerjanya. Manajemen dituntut untuk bisa mendukung proses perubahan untuk meningkatkan mutu mereka meskipun orang biasanya tidak mau berubah. Adapun ciri-ciri Kepala sekolah yang mengagumkan menurut Sergiovanni, dkk. (1987b:293) yakni: (a) pemahamannya luas mengenai komponen pada sekolah yang dipimpinnya misalnya yaitu kepala sekolah paham terkait perubahan yang telah terjadi di sekolah; (b) memiliki sikap toleransi terhadap situasi ambiguitas, dan mampu paham bahwa budaya yang ada di sekolah selalu berkembang sepanjang waktu. (c) sulit mengatakan ‘tidak’ untuk membantu para guru dan peserta didik agar mereka bisa selalu tumbuh dan berkembang; (d) senang bekerja sama dengan orang lain sehingga orang lain tersebut dapat mencapai keberhasilan; dan (e) memiliki kemampuan untuk ‘mendengarkan’ pendapat orang lain.

Implementasi Total Quality Management di sekolah
Menurut Rivai (2009:479) TQM merupakam satu kesatuan alat, prinsip dan langkah yang mampu menjadi petunju dalam praktik pelaksanaan suatu organisasi. Implementasi Total Quality Management (TQM) merupakan penerapan konsep manajemen yang melibatkan seluruh komponen organisasi secara bersama-sama dan berkontribusi dalam kebijakan organisasi sehingga mampu fokus terhadap perbaikan mutu sutu produk untuk dapat mencapai kepuasan pelanggan (customer). Beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan saat implementasi TQM di dunia pendidikan, yaitu:
1.    Kegiatan memperbaiki dilakukan dengan beratahap dan terus menerus. Agar mampu menjamin semua komponen penyelenggaraan pendidikan telah mampu mencapai standar mutu yang diinginkan atau ditetapkan, maka Institusi pendidikan juga harus senantiasa bisa memperbaharui proses berdasarkan kebutuhan dan tuntutan yang ada. Orang yang mengelola juga harus mau melakukan segala cara untuk perbaikan dan peningkatan secara bertahap dan terus menerus untuk
2.    Mampu menetapkan Standar Mutu (Quality assurance). Menetapkan standar mutu yang berasal dari semua komponen yang bekerja pada proses produksi atau lulusan institusi pendidikan. Standar tersebut meliputi kepemilikan kemampuan dasar pembelajaran sesuai dengan jenjang pendidikan, kurikulum, dan evaluasi.
3.    Adanya Perubahan Kultur atau budaya (change of culture). Pemimpin harus bisa membangun kesadaran kepada para anggotanya terkait pentingnya mempertahankan dan meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah.
4.    Adanya Perubahan Organisasi (upside-down-organization). Penerapan pada lingkungan sekolah mampu terlaksana dengan bentuk perubahan struktur organisasi sekolah dalam manajemen berbasis sekolah dengan struktur konvensional dari atas ke bawah. Maka dalam struktur baru tersebut bisa berubah dari bawah ke atas.
5.    Mampu mempertahankan hubungan dengan para pelanggannya (keeping close to the customer). Jika hubungan antara institusi pendidikan dengan orang tua siswa, masyarakat maupun pihak lain sudah terlaksana dengan baik, maka institusi atau sekolah tersebut akan mampu menjalin hubungan yang baik dengan para “pelanggannya”.
Implementasi TQM pada sekolah memerlukan komitmen yang berasal dari kepala sekolah mengenai perbaikan kualitas sekolah. Pimpinan tertinggi suatu sekolah (kepala sekolah) berkewajiban untuk mencapai budaya kualitas. Komitmen mengenai kualitas di sekolah dimulai dari level kepala sekolah hingga kepada level terbawah. Usaha lain untuk meningkatkan TQS (Total Quality Schools) yaitu saat kepala sekolah mampu mempertahankan level tertinggi dari komitmennya. Dengan kata lain, komitmen merupakan strategi agar mampu menjaga sekolah dan memperoleh atau meningkatkan kualitasnya.
Aplikasi konsep TQM pada sekolah bermakna bahwa setiap langkah selalu difokuskan kepada kebutuhan para pelanggannya dan perbaikan kualitas dari semua input. Komitmen mengenai kualitas harus dimiliki oleh para kepala sekolah. Dengan adanya komitmen yang dimiliki oleh Kepala Sekolah untuk mengimplemetasikan TQM di sekolah, maka akan mendukung proses perubahan sehingga akan meningkatkan mutu dan output yang dihasilkan oleh sekolah tersebut bisa berkualitas.

SIMPULAN DAN SARAN
Kepala sekolah dalam hal pelaksanaan tugas harus bisa membuat dan menjalankan kebiajan yang ada di sekolah secara baik dan harus memiliki komitmen yang kuat terhadap sekolah tempat bekerja demi mencapai tujuan dari sekolah itu sendiri. Kepala sekolah harus memiliki komitmen kuat terhadap suatu mutu. Jika kepala sekolah di suatu sekolah tidak memiliki komitmen yang jelas, maka proses perubahan mutu yang ada juga tidak mungkin dapat berjalan dengan lancar nantinya. Implementasi TQM di sekolah berarti difokuskan kepada kebutuhan yang dimiliki pelanggan bukan dari yang diinginkan oleh sekolah. Kepala sekolah seharusnya mampu menjadi teladan bagi para guru lain di sekolah, agar memudahkan pencapaian tujuan sekolah yaitu menjadikan sekolah yang berkualitas (akademik maupun non akademik) dan mampu mencapai kepuasan pelanggan.

DAFTAR RUJUKAN
Handoko. 1995. Manajemen. Yogyakarta: BPFE
Miyono Noor. 2013. Komitmen Menjadi Kepala Sekolah Berkualitas Melalui Otoritas Profesional Dan Moral. Jurnal Manajemen Pendidikan. (Journal.upgrise.ac.id) diakses 12 November 2018
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Munir Abdullah. 2008. Menjadi Kepala Sekolah Efektif. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Prabowo. 2012. Kepemimpinan dalam Manajemen Berbaasis Sekolah. (online) (staff.uny.ac.id). Diakses pada 12 November 2018
Rivai Veithrizal. 2009. Education Management; Analisis Teori dan Praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sergiovanni. 1987b. EducationalGovernance and Administration. 2 nd . Ed. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall,
Syukron, Kurniatun, Bakar. 2016. Pengaruh Komitmen Pegawai Sekolah Terhadap Eektivitas Implementasi Total Quality Management (TQM) Di Smkn Se-Kota Cimahi. Jurnal Administrasi Pendidikan, (Online). (https://www.google.com), diakses 12 November 2018
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Online), (www.komisiinformasi.go.id), diakses 18 November 2018.